Sinopsis Novel Ranah 3 Warna

Ranah 3 Warna adalah buku ke – 2 dari trilogi Negeri 5 Menara. Ditulis oleh Ahmad Fuadi, mantan wartawan TEMPO dan VOA, penerima 8 beasiswa luar negeri dan penyuka fotografi. Pernah tinggal di Kanada, Singapura, Amerika Serikat, dan Inggris. Alumni Pondok Modern Gontor, HI Unpad, George Washington University dan Royal Holloway, University of London ini meniatkan sebagian royalti trilogi ini untuk membangun Komunitas Menara, sebuah yayasan sosial untuk membantu pendidikan orang yang tidak mampu, yang berbasiskan sukarelawan.
Penghargaan untuk Negeri 5 Menara : Nominasi Khatulistiwa Literary Award 2010, Penulis dan Fiksi Terfavorit, Anugerah Pembaca Indonesia 2010
Twitter                              : @fuadi1 (pakai angka 1)
Facebook fanpage               : Negeri 5 Menara
Email penulis                      : negeri5menara@yahoo.com       
Email untuk mengundang     : kontak@negeri5menara.com
Penerbit                             : PT Gramedia Pustaka Utama
                                          Kompas Gramedia Building

RANAH 3 WARNA
Pengarang : Ahmad Fuadi
Alif seorang pemuda yang lulus dari Pondok Pesantren Madani di Ponorogo ini mempunyai mimpi ingin belajar sampai negeri Paman Sam. Dengan semangat yang membara ia pulang ke Maninjau dan tak sabar ingin segera kuliah. Namun kawan karibnya, Randai, meragukan dia untuk bisa lulus UMPTN(Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Lalu Alif sadar, ada satu hal penting yang ia tidak miliki untuk menempuh UMPTN, yaitu ijazah SMA. Tapi ayah Alif sudah berjanji untuk mengurus segala keperluannya  untuk mendapat ijazah SMA melalui ujian persamaan. Waktu ujian persamaan tinggal 2 bulan. Alif hanya menghela napas panjang , antara bingung dan gentar. Semakin banyak orang yang meremehkan Alif semakin besar pula tekadnya untuk menunjukkan bahwa ia bukan “pecundang”. Semangat “Man Jadda Wajada” semakin menggelegar di hatinya. Alif sudah melebihkan usaha untuk mencapai hasil yang terbaik. Going the extra miles. I’malu fauqa ma’amilu. Berusaha di atas rata – rata orang lain. Akhirnya hari yang di nanti – nanti datang juga. Hanya beberapa soal saja yang bisa Alif jawab dengan yakin sisanya ia jawab dengan ragu – ragu. Alif keluar ruangan ujian dengan perasaan yang tidak tenang juga penyesalan yang mendalam. Beberapa minggu kemudian hasil ujian persamaan keluar juga. Dengan takut – takut Alif datang ke kantor panitia untuk melihat hasil ujian. Alhamdullilah ia lulus dan tidak ada nilai merah, tetapi tetap saja dia hanya mendapat nilai dengan rata – rata 6,5. One down, one more to go.
Pertarungan yang lebih ketat telah di depan mata : UMPTN. Jika ujian persamaan adalah bertarung dengan diri sendiri, UMPTN adalah bertarung dengan seluruh siswa di Indonesia. Aku membolak – balik buku panduan UMPTN dan juga formulir yang aku dapat di kantor panitia, antara bingung dan juga takjub. Banyak sekali daftar nama Universitas, fakultas dan juga jurusan yang tertera. Jari – jemariku tak henti – hentinya menunjuk semua Universitas yang tertulis di kertas tersebut. Sama sekali tidak ada yang mengena di hati. Tiba – tiba jariku berhenti, “Jurusan Hubungan Internasional” terlihat sangat menarik. Ya, itulah jurusan yang Alif pilih. Meskipun tidak di “Jurusan Penerbangan ITB” tak apalah. Alif telah membulatkan tekad untuk lebih bekerja keras menempuh UMPTN. Man Jadda Wajada.
Belajar, itulah kegiatan yang dilakukan Alif sehari – hari. Lama kelamaan Alif merasa bosan dan merasa putus asa dan serasa otaknya sudah tidak mampu untuk dimasuki materi UMPTN. Berkat semangat dari tim Dinamit Denmark, Alif serasa mendapat energi dan semangat baru. Belum sampai ia puas, rintangan besar lagi – lagi menghadangnya. Tiba – tiba Alif teringat 1 lagi “mantra”yang diajarkan di Pondok Madani yaitu “Man Shabara Zhafira. Siapa yang bersabar akan beruntung”. Hari yang mendebarkan tiba. UMPTN. Alif mencoba untuk tenang menghadapi ujian ini. Berhari – hari perasaan Alif tidak tenang. Setelah kurang lebih 3 minggu akhirnya hasil UMPTN dimuat di surat kabar Haluan yang diangkut oleh bus Harmoni 1 yang turun dari Maninjau. Alhamdullillah, nama Alif terpampang di surat kabar ini.
Setelah pengumuman UMPTN, Alif harus segera berangkat ke Bandung untuk kuliah di Unpad(Universitas Padjadjaran). Ditemani oleh “Si Hitam”, sepatu pemberian ayah Alif, ia pun berangkat merantau lagi ke Jawa untuk menempuh pendidikan.
Sesampainya di Bandung, Alif harus segera pergi ke tempat kos Randai, kawan karibnya, karena cuaca sedang hujan. Sebenarnya Alif hanya ingin menumpang sampai ia menemukan kos yang cocok.
Di sinilah perjalanan Alif dimulai. Inilah hari pertama Alif untuk masuk kuliah. Hari pertama Ospek, Alif sudah dihukum bersama anak – anak lain yang senasib dengannya. Karena Alif tak pernah mengalami yang namanya Ospek jadi ia merasa seperti tak ada yang perlu dari kegiatan Ospek tersebut. Dari kegiatan itu juga kelompok Alif dan kelompok dari senior melakukan pertengkaran besar – besaran, dan berakhirlah di kantor dekan.
Setelah Ospek selesai, angkatan Alif dianggap sebagai angkatan Malin Kundang karena sudah berani melawan senior apalagi dengan melakukan pertengkaran besar – besaran. Setelah Ospek Alif sudah mulai merasakan bagaimana susahnya hidup menjadi mahasiswa, apalagi tentang mencari rumah kos. Sudah sebulan ini Alif menumpang di kos Randai padahal niatnya hanya 1,2 minggu saja tetapi masih saja tidak mendapatkan kos yang cocok. Akhirnya Randai menawarkan untuk patungan membayar kos. Alif pun setuju.
Setelah masuk Unpad, berbagai macam rintangan ia hadapi mulai dari keinginannya untuk menulis, berguru kepada Bang Togar yang mendidiknya sangat keras, tulisan hasil didikan Bang Togar di muat di media massa lokal sampai ayahnya meninggal. Karena ayah Alif sudah meninggal, Alif pun menjadi tulang punggung keluarga. Hampir saja ia putus asa tetapi seorang ibu telah menyemangatinya sehingga ia kembali bangkit. Semakin banyak tulisan Alif yang di muat di  media massa lokal maupun daerah, dan sedikit demi sedikit Alif sudah bisa membiayai kuliahnya sendiri.
Dalam perjalanan kuliahnya, Alif mencoba untuk mengikuti pertukaran pelajar di Amerika. Bermodal niat dan tekad yang kuat, akhirnya Alif pun lolos seleksi dengan berbagai pertimbangan dari panitia penyelenggara. Kanada, itulah tujuan Alif setelah lolos seleksi pertukaran pelajar. Raisa, anak yang Alif sukai sejak masuk Unpad juga lolos seleksi pertukaran pelajar.
Sesampainya di Kanada, tepatnya di Montreal, Alif mencubit tangannya serasa tidak percaya. Dan tak terasa ia dan “Si Hitam” sudah menginjak 3 ranah berbeda. Tanah Tumpah Darah yaitu Indonesia, tempat para nabi yaitu tanah Timur Tengah (Amman,Yordania), dan tanah benua Amerika tepatnya di Montreal, Kanada.
Semula niatnya mengikuti pertukaran pelajar ini adalah untuk menambah kemampuannya untuk lebih fasih berbahasa inggris tetapi panitia menghendaki lain, memang di Kanada tetapi Alif tidak berbaur dengan orang – orang Kanada yang berbahasa Inggris tetapi berbahasa Prancis. Selama di Kanada, Alif tinggal bersama homestay parent bernama Franco Peppin. Orangtuanya yang sangat baik, penyayang, dan perhatian. Alif pun sudah menganggap orangtua angkatnya sebagai orangtuanya sendiri. Alif dan homestay parent – nya  tinggal di kota kecil Saint Raymond bernama Quebec City. Kota yang sangat aman dan tidak pernah ada namanya pencurian.
Selama tinggal di Kanada, Alif mendapat tugas untuk bekerja di SRTV, Stasiun TV Lokal Quebec City. Awalnya ia tidak mendapat tugas untuk bekerja di Stasiun TV Lokal tetapi di Panti Jompo, akhirnya ia bertukar tugas dengan Topo yang sedang mendapat tugas dari dosennya di Indonesia untuk membuat laporan di Panti Jompo.
Kegiatan yang tidak pernah Alif tinggalkan meskipun berada di negeri Paman Sam adalah tulis menulis. Ia sempat menggemparkan publik Kanada dengan liputannya bersama Monsieur Janvier, seorang tokoh Politik terkenal Kanada. Tidak hanya itu saja, Alif juga pernah mewawancarai seorang Indian yang ahli dalam berburu yaitu Lance Katapatuk. Dan dari pengalamannya pernah meliput Lance Katapatuk, Alif mendapat sebuah kenang – kenangan persaudaraan berupa se – helai bulu burung elang asli dari dataran Quebec. Bulu burung elang ini menjadi sebuah lambang keberanian dan petualangan bagi Alif.
Banyak sekali pengalaman yang telah Alif jalani selama di Kanada, mulai dari canda, tawa, cinta, sedih bercampur menjadi satu hingga suatu ketika Alif mendengarkan pembicaraan antara Raisa dengan kawan kerjanya, Dominique, bahwa Raisa sudah tidak mencari pacar tetapi mencari calon suami atau singkatnya Raisa tidak ingin pacaran tetapi langsung ke jenjang pernikahan. Pembicaraan ini membuat Alif mengurungkan niat untuk menyampaikan perasaannya kepada Raisa dan dia kembali menyimpan surat yang sudah ia persiapkan beberapa bulan yang lalu hanya untuk disampaikan suatu hari nanti. Man Shabara Zhafira.!
Setahun berlalu, Alif dan rombongan pertukaran pelajar kembali ke Indonesia. Perasaan bangga, senang, dan haru bercampur menjadi satu mengiringi kepulangannya ke Indonesia. Sahabat – sahabat Alif di Unpad turut senang dengan prestasi yang diraih Alif di Kanada. Tak lupa Alif juga berkirim surat kepada Amaknya di Maninjau, ia mengabarkan tentang kedatangannya kembali ke Indonesia dan akan terus melanjutkan kuliah sampai lulus S-1.
Tak terasa dua tahun sudah berlalu sejak Alif pulang dari Kanada. Skripsi sudah dilalui dengan penuh kerja keras dan hasilnya berbuah sangat manis. Alif dinyatakan lulus dan berhak untuk mengikuti wisuda bulan depan.
Saat mendebarkan datang, saat wisuda. Amak, dan kedua adik Alif tak lupa datang untuk melihat Alif memakai baju toga. Di hari yang bersejarah ini Alif tidak lupa dengan janjinya untuk memberikan surat kepada Raisa. Dan tak di sangka – sangka ternyata Raisa sudah bertunangan dengan Randai, kawan karibnya!. Dengan perasaan yang sudah tidak bisa ia ungkapkan lagi, Alif hanya bisa tertunduk lesu dan menerima dengan lapang dada.
Sebelas tahun kemudian, Alif kembali terbang ke Kanada memenuhi janjinya dengan homestay parent – nya saat di Kanada dulu, Franco Peppin. Tapi kali ini Alif tidak sendirian ia ditemani oleh istrinya, Danya Dewanti. Begitu sampai di Quebec City rasanya Alif kembali bernostalgia dengan masa dimana ia untuk pertama kalinya mendarat di Kanada. Rasanya tak ada yang berubah dari kota kecil yang terletak di Saint-Raymond ini. Semua bangunannya tetap seperti dulu hanya ada sedikit renovasi saja. Pemandangan dari Puncak Mount – Laura tetap indah seperti dulu mengingatkan Alif pada peringatan hari Pahlawan di Kanada. Sangat indah hanya itulah kata – kata yang bisa diungkapkan Alif dan istrinya.

Oleh : Rani Purnamasari (‎07 ‎Oktober ‎2012, ‏‎19:13:30)

0 komentar:

Posting Komentar